Sumber daya perikanan yang umumnya hidup dan berkembangbiak di alam (danau/waduk, sungai dan laut) kerap kali tidak terhindarikan dari dampak negatif ataupun dampak positif dari kegiatan usaha disekitarnya. Sumber daya perikanan yang ada di alam juga merupakan aset milik bersama (commont proverty) yang tidak jelas pengelolaannya jika tidak dikelola secara bersama. Sebagai contoh sungai memiliki arti penting bagikehidupan manusia dan beragam spesies ikan dan biota lainnya.
Bagi manusia, sungai berpotensi menjadi sumber mata pencaharian. Sebahagian penduduk menggunakan sungai untuk mencari ikan dan budi daya ikan keramba.
Sungai yang bersih juga menopang kehidupan beragam spesies ikan dan biota lainnya.
Keadaan spesies ini menjadi penopang sumber mata pencaharian penduduk. Sayangnya, banyak sekali sungai yang tercemar oleh limbah cair dan padat yang bersumber dari kegiatan produksi pabrik, rumah tangga dan dari usaha perikanan itu sendiri. Karena itu, sungai tidak hanya memiliki jasaekonomi bagi manusia, lebih dari itu sungai memiliki nilai jasa lingkungan yang besar. Ilustrasinya tidak begitu rumit. Ketika sungai sudah tercemar oleh limbah cair dan padat, maka kegiatan ekonomi bisa sirna, karena spesies ikan dan tumbuhan tidak lagi mampu untuk hidup. Untukmenjaga nilai ekonomi dan jasa lingkungan sungai diperlukan pengendalian dalam pengelolaannya.
Bagaimanapun, sungai merupakan barang publik. Tidak ada seorangpun yang memiliki hak pemanfaatan khusus terhadap sungai. Keberadaanbarang publik merupakan salah satu alasan mendasar terbukanyaintervensi pemerintah terhadap kegiatan ekonomi. Karena itu,eksternalitas negatif dari pemanfaatan sungai pasti terjadi. Dalam hal inilah kegiatan penyuluhan perikanan sangat diperlukan guna memberikan pemahaman kepada semua pihak yang melakukan kegiatan diseputaran danau/waduk, sungai dan laut supaya pengelolaan akan dampak eksternalitas dipertimbangkan sedini mungkin.
Eksternalitas adalah suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang menguntungkan maupun yang merugikan. Eksternalitas pada dasarnya timbul karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan dalam menjalankan usaha atau kegiatannya. Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidakefisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumber daya yang efisien tidak terpenuhi. Karakteristik barang atau sumber daya publik, ketidaksempurnaan pasar, kegagalan pemerintah merupakan keadaan-keadaan dimana unsur hak pemilikan atau pengusahaan sumber daya (property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak bisa dihindari. Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang.
Pemerintah yang dalam hal ini penyuluh perikanan dapat mengatasi suatu eksternalitas dengan melarang atau mewajibkan perilaku tertentu dari pihak-pihak tertentu. Bentuk regulasi dibidang lingkungan hidup itu sendiri bisa bermacam-macam. Adakalanya Enviromental Protection Agency(EPA) langsung menetapakan batasan polusi yang diperbolehkan untuk suatu perusahaan. Terkadang EPA mewajibkan pemakaian teknologi atau peralalatan tertentu untuk mengurangi polusi di pabrik-pabrik. Di semua kasus, demi memperoleh suatu peraturan yang baik dan tepat guna, para pejabat pemerintah harus mengetahui spesifikasi dari setiap jenis kegiatan (usaha), dan berbagai alternatif teknologi yang dapat diterapkan oleh industri yang bersangkutan, dalam rangka mengurangi atau membatasi polusi. Masalahnya, informasi seperti ini sulit di dapatkan. Disinilah peran penyuluh perikanan harus senantiasa up date informasi terkini khusunya terkait dengan alternatif teknologi yang ekonomis namun ramah lingkungan.
Selain menerapkan regulasi, untuk mengatasi eksternalitas, pemerintahmelalui penyuluh perikanan juga dapat menerapkan kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada pendekatan pasar, yang dapat memadukan insentif pribadi/swasta dengan efisiensi sosial. Para ekonom umumnya lebih menyukai pajak Pigovian dari pada regulasi sebagai cara untuk mengendalikan polusi, karena biaya penerapan pajak itu lebih murah bagi masyarakat secara keseluruhan. Andaikan ada dua pabrik-pabrik baja dan pabrik kertas-yang masing-masing membuang limbah sebanyak 500 ton per tahun ke sungai. EPA menilai limbah itu terlalu banyak, dan beniat menguranginya. Ada dua pilihan solusi baginya, yakni: :
§ Regulasi: EPA mewajibkan semua pabrik untuk mengurangi limbahnya hingga 300 ton per tahun.
§ Pajak Pigovian : EPA mengenakan pajak sebesar Rp.5.000.000 untuk setiap ton limbah yang dibuang oleh setiap pabrik. Pajak tersebut kemudian dapat diguankan untuk mengelola limbah tersebut sehingga perairan tidak tecemar.
Sekarang, mari kita andaikan EPA (Enviromental Protection Agency) mengesampingkan saran para ekonom, dan menerapkan pendekatan formal. EPA mengeluarkan peraturan yang mengharuskan setiap pabrik, untuk menurunkan limbahnya hingga 300 ton per tahun. Namun, hanya sehari setelah peraturan itu diumumkan, pimpinan dua perusahaan, yang satu dan pabrik baja dan yang lain dari pabrik kertas, datang ke kantor EPA untuk mengajukan suatu usulan.
Satu keuntungan dari berkembangnya pasar hak berpolusi ini, adalah alokasi/pembagian awal izin berpolusi dikalangan perusahaan tidak akan menjadi masalah, jika ditinjau dari sudut pandang efisien ekonomi. Logika yang melatarbelakangi kesimpulan tersebut mirip dengan mendasari teorema Coase. Ekonom Ronald Coase yang menyatakan bahwa solusi swasta bisa sangat efektif seandainya memenuhi satu syarat. Syarat itu adalah pihak-pihak yang berkepentingan dapat melakukan negosiasi atau merundingkan langkah-langkah penanggulangan masalah ekternalitas yang ada diantara mereka, tanpa menimbulkan biaya khusus yang memberatkan alokasi sumber daya yang sudah ada. Menurut teorema Coase, hanya jika syarat itu terpenuhi, maka pihak swasta itu akan mampu mengatasi masalah eksternalitas dan meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya.
Satu keuntungan dari berkembangnya pasar hak berpolusi ini, adalah alokasi/pembagian awal izin berpolusi dikalangan perusahaan tidak akan menjadi masalah, jika ditinjau dari sudut pandang efisien ekonomi. Logika yang melatarbelakangi kesimpulan tersebut mirip dengan mendasari teorema Coase. Ekonom Ronald Coase yang menyatakan bahwa solusi swasta bisa sangat efektif seandainya memenuhi satu syarat. Syarat itu adalah pihak-pihak yang berkepentingan dapat melakukan negosiasi atau merundingkan langkah-langkah penanggulangan masalah ekternalitas yang ada diantara mereka, tanpa menimbulkan biaya khusus yang memberatkan alokasi sumber daya yang sudah ada. Menurut teorema Coase, hanya jika syarat itu terpenuhi, maka pihak swasta itu akan mampu mengatasi masalah eksternalitas dan meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya.
Beberapa pelaku usaha terkadang juga mampu mengatasi masalah eksternalitas, dengan membiarkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengatasinya. Motif utama mereka memang untuk memenuhi kepentingannya sendiri, namun dalam melakukan suatu tindakan, mereka juga sekaligus mengatasi eksternalitas. Sebagai contoh, kita lihat saja apa yang akan dilakukan oleh seorang pembudidaya ikan dan seorangpengusaha pembuat tahu yang hidup berdekatan. Ampas tahu yang merupakan limbah dari proses pembuatan tahu kemudian dijadikan bahan baku pakan oleh si pembudidaya ikan, ampas tahu kemudian bisa langsung diberikan pada ikan dengan tambahan sedikit ikan asin, atau dapat juga diolah lebih dulu menjadi tepung dengan mengeringkannya dalam oven atau dijemur lalu digiling. Ia menguntungkan si pembudidaya ikan. Sipembuat tahu juga untung karena ia tidak perlu mengolah limbah tahu.
Eksternalitas ini dapat diinternalisasikan dengan cara penggabungan kedua usaha. Dalam kenyataannya, niat untuk mengupayakan internalisasi eksternalisasi seperti itulah yang merupakan penyebab mengapa banyak perusahaan yang menekuni lebih dari satu bidang/jenis usaha sekaligus.
Kontributor :
Markus Sembiring,S.Pi.,M.I.L
Penyuluh Perikanan Muda
Posting Komentar